Dia, perempuan dari negeri seberang itu, tampaknya juga menyukai saya.
Saya merasa begitu. Meskipun selama di Malang, kami menjaga hubungan sebatas pendamping kegiatan.
Tawanya, pembicaraan kami di luar hal-hal pekerjaan, saat-saat kami makan tanpa pilih tempat di kampung-kampung di sekitar Malang yang kami kunjungi.
Nah, saya telah terbawa kenangan itu hanya karena mendengar kata batik.
Separah itulah kenangan itu rupanya.
Saya tak sadar rapat selesai dan terkejut lagi ketika dari belakangku Pak IDR berdiri menepuk-nepuk pundakku.
”Dur, kamu punya paspor, nggak? Kalau punya besok ikut menyeberang, ya…” katanya.
Kejutan lagi. Saya belum pernah ke negeri seberang itu.
Kenapa tiba-tiba jantungku berdebar, hanya dengan membayangkan sampai ke negeri itu saja, saya seakan membayangkan bertemu dengan dia.
Aduh, parah sekali.
”Belum punya, Pak!” kata saya, tapi urusan ini bisa beres dalam satu hari kalau diserahkan ke Bang Jon.
“Ya, sudah lain kali saja. Tapi malam ini habis deadline, ketemu saya di hotel ya… Kita ngobrol, makan malam sama saya,” kata Pak IDR.
Satu kejutan lagi.
Satu kebun pohon durian berbuah lebat di musim panen dan sedang matang runtuh menimpaku!
Dari kamar teratas dan termewah, president suite hotel Nagata Plaza, kamar yang dihuni Pak IDR aku bisa berkeliling melihat kota ini dari atas.
Kerlap-kerlip lampu dan pendar kota di negeri seberang itu pun tampak cemerlang.