Siapa Membunuh Putri (21): Kode Etik

Siapa Membunuh Putri (21): Kode Etik

Ilustrasi seseorang menembak sasaran didepannya.--(dokumen/radarkaur.co.id)

Bukan menyesali berita mobil bodong itu, tapi menyesal tadi kenapa saya menjawab dengan pasal kode etik.

Kemarahan Kapolresta reda setelah kami sepakat untuk tak memberitakan itu lagi. Bang Eel bahkan menyarankan satu solusi lain. 

“Begini, Pak. Bapak saya kira bisa minta ke salah seorang pengusaha besar di sini untuk mengakui bahwa mobil-mobil itu adalah sumbangan mereka,” kata Bang Eel.  

Kombes Pol Guntur tertarik dengan usul itu.

”Bagus juga. Kalian bantu atur ya, nanti ketemu dan bicara dengan Iptu Binsar ya, Kasi Humas kita..” ujarnya.  

Saya dan Bang Eel bersitegang setelah Kapolresta meninggalkan kantor kami. 

Saya tak setuju dengan usulnya tadi.

”Buat apa kita repot-repot urus masalah mereka, Bang...” 

 ”Kalau kau tak mau, kau tak usah ikut repot. Biar saya yang urus. Kau tak lihat gimana marahnya Pak Guntur tadi? Untung tadi kita ketemu di kantor kita, kalau di tempat lain, sudah habis kita. Kita harus kompromi juga. Saya cemaskan teman-teman kita di lapangan, Dur.”  

”Tapi dia menghina profesi kita, Bang. Dia pikir semua wartawan bisa dibeli apa...”

”Kita sesekali harus kompromi juga, Dur. Tadi kan kita tak bicara soal berita Putri. Kita hajar terus. Tak bisa dia atur kita soal itu. Soal mobil bodong, kita bantu polisi,” kata Bang Eel. 

Kompromi? Ini yang sering menggelisahkan saya.  Di mana batasnya saya sebagai wartawan membuka diri untuk mau berkompromi?

Apa yang dikompromikan? Idealisme?  Sampai mana batasnya?  Saya memilih untuk tidak pernah melakukannya.

Sering saya dengar orang di luar bilang saya tak bisa dibeli, tak bisa ditakar.

Banggakah saya? Sama sekali tidak. Bukankah seharusnya memang begitu seorang wartawan bekerja.     

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: