Termasuk bagaimana menimbang sejumlah aspirasi dari berbagai elemen soal pengangkatan tenaga honorer menjadi ASN.
Begitu juga dengan kewajiban melakuan test kompetensi sebagaimana diamanatkan dalam regulasi.
Meskipun pada ujungnya, kebijakan ini akan menimbulkan pro kontra kembali.
Tapi setidaknya dengan kebijakan transisi akan mereduksi rentetan gejolak yang berpotensi terjadi.
Perhatian utama sebelum kebijakan berlaku adalah kesadaran bahwa selama ini tenaga honorer, suka tidak suka telah menjelma menjadi salah satu mesin birokrasi.
Ketiadaannya secara keseluruhan tentu memengaruhi ekosistem kerja birokrasi.
Maka dari itu, menihilkan kuantitas bukan menjadi solusi, namun mengalihkan status mereka bisa menjadi opsi.
Meskipun tidak semua dapat dilibatkan karena mempertimbangkan aspek kompetensi dan syarat tertentu.
Pertama, langkah awal melakukan pemetaan kualifikasi tenaga honorer berdasarkan fungsi tugasnya.
Tenaga honorer yang memiliki tugas teknis fungsional seperti tenaga pendidik, medis, kesehatan, penyuluh dan sebagainya, akan dikelompokkan berbeda dengan honorer yang tugasnya lebih umum dan administratif.
Keduanya memiliki bobot yang berbeda dalam penilaian kelulusan CPNS nantinya. Prioritas pemetaan ini penting sebab ke depan birokrasi pemerintah akan lebih mengedepankan jabatan yang sifatnya lebih fungsional.
Kedua, perlunya menyusun profiling tenaga honorer berdasarkan masa kerja, pendidikan dan prestasi kerja.
Masa kerja mendeskripsikan pengalaman dalam bekerja di pemerintahan.
Sedangkan pendidikan yang relevan dan prestasi kerja dapat menggambarkan kompetensi awal yang mereka miliki.
Nantinya profil ini akan berpengaruh terhadap presentasi bobot kelulusan.
Ketiga, penentuan bobot untuk honorer fungsional yang memiliki pendidikan relevan dan prestasi kerja yang baik akan menentukan 70 persen hasil penilaian.
Sedangkan 30 persen sisanya akan tergantung dari hasil tes, baik untuk PNS maupun PPPK.