Oleh: Hasan Aspahani
TURUN dari ojek, dengan sekantong plastik penuh bungkusan mie lendir buat anak-anak panti, aku justru mendapati ketegangan di antara Bu Yani dan beberapa orang tamu yang tak pernah kulihat sebelumnya.
Seorang lelaki berjas (pagi-pagi gini di kota ini pakai jas?) sepertinya seorang pengacara yang menjaga diri dengan identitas formal, dan seorang perempuan dengan stelan merah, penampilan pebisnis.
Aku berbasa-basi dengan senyum dan langsung masuk ke dalam rumah.
Bu Yani berdiri lekas menyusulku.
”Itu pemilik rumah baru dan pengacaranya,” kata Bu Yani.
”Oh, jadi bukan anaknya Pak Doni lagi yang punya rumah ini? Uang sewa harus dibayar ke ibu itu?” tanyaku.
Pak Doni pemilik rumah yang disewa Panti Asuhan Abulyatama, sudah lama tak lagi mengurus properti miliknya ini.
Urusan sewa-menyewa diserahkan ke anaknya.
Rupanya, rumah ini oleh anaknya dijadikan agunan untuk pinjaman untuk satu proyek.
Dan karena satu dan lain hal yang salah, rumah ini jadi milik mitranya si perempuan stelan merah itu.
”Masalahnya dia tak mau menyewakannya lagi,” kata Bu Yani.
”Berapa hari kita dikasih waktu untuk pindah?” tanyaku.
”Mereka minta secepat mungkin,” kata Bu Yani.
Saya menemui dua tamu itu.