Tak mungkin saya suruh Bu Yani untuk menjawab mereka.
Aku mau tak mau temui mereka dan menjawab sekadarnya.
Begini ya rasanya ditanya-tanya dengan pertanyaan tak bersimpati oleh wartawan di saat mengalami musibah.
Saya tahu saya tak bertanya seperti itu.
Saya banyak menjawab dengan ”tak tahu”, karena memang banyak hal yang saya tak tahu kenapa ada orang mau membakar panti kami.
Saya membayangkan apa judul headline surat kabar di kota ini besok.
Lucu juga membayangkan di Metro Kriminal judulnya: Panti Dilempar Bom Molotov, Ijazah Sarjana Wartawan Kriminal Ikut Terbakar!
Bang Jon yang sedang libur datang menemuiku, tak lama setelah api padam.
Ia menolongku ke mana-mana berurusan dengan storm-nya.
Juga mengantar anak-anak pada sore harinya ke Watuaji.
Nenia juga ikut membantu dengan amat cekatan, ia bahkan bawa satu mobil lain untuk angkut barang-barang panti.
Bila disusun daftar 100 pemilik ponsel pertama di Batam, Bang Jon masuk.
Bila diperpendek menjadi 50 pun saya kira masih ada dalam daftar.
Ketika operator seluler pertama di negeri ini dicoba di kota kami, seingat saya, Bang Jon sudah petentang-petenteng dengan Ericson sepergelangan tangan bayi.
Dengan ponsel itulah dia menelepon ke sana kemari, cari info tentang apa yang sebenarnya terjadi di balik pembakaran panti.
Saya yakin tak ada hubungannya dengan saya atau Bu Yani, atau panti yang sudah ada belasan tahun.