Untuk sementara, pesantren diselenggarakan di ruko di kawasan Watuaji.
Mungkin, saya pikir, anak-anak panti bisa dititipkan di sana, bahkan bisa seterusnya bergabung dengan pesantren saja.
Baru saja sang tamu pergi, sebuah motor dari jauh melaju kencang, dengan deru mesin lantang, memecah udara kota.
Berhenti mendadak di depan panti dan orang yang dibonceng tanpa turun dari motor melemparkan bom molotov ke arah panti.
Tak hanya satu.
Beberapa.
Api lekas menjalar ke dalam rumah.
Aku dan Bu Yani, dibantu warga sekitar dengan spontan mengeluarkan apa yang berharga dalam rumah.
Saya terutama memikirkan barang-barang milik anak-anak panti.
Bu Yani menyelamatkan semua barang penting, akta Yayasan, komputer, buku-buku.
Saya bahkan lupa surat-surat berhargaku.
Ijazahku, SK-ku yang baru, sertifikat dan lain-lain tak ada yang tersisa.
Kecuali kartu-kartu penting di dalam dompet.
Saya teringat judul buku Memoar Ajip Rosidi: hidup tanpa ijazah.
Dalam arti yang sebenarnya.
Beberapa wartawan datang, Yon ada di antara mereka.